24.11.17

interfaith relationship: restriction or a blessing?

What are religion and faith means to you? In the middle of this liberalism era, is it a restriction or a blessing?

Saya seorang perempuan yang tumbuh besar dan dididik dalam keluarga yang sangat mengimani iman Kristen, and I'm really grateful for that. Dari iman ini, saya bukan cuma belajar soal dosa dan menyenangkan hati Tuhan, apa yang boleh dan tidak boleh, tapi juga soal ketekunan, ketaatan, pengharapan, dan bagaimana caranya menjadi sesosok wanita kuat yang hopefully nantinya bisa berguna untuk dunia. 

Saya selalu yakin bahwa konsep ketuhanan yang saya hidupi ini adalah baik adanya, it gives me strength in hard times, hopes in distress, and makes me always feel loved. But I'm far far far away from perfect on this issue. Often, I lost my sight and stop looking for His way. Jadi seonggok manusia egois yang cuma mau ikuti insting dan kemauan temporer, repeatedly fall over again in the same, what society considers as a, sin. As a mistake, a big no, which is, interfaith relationship, or being together with someone who does not share the same faith with me. 

kalau mau duga-duga, ah post ini palingan isinya mau ngekomplain kenapa sih gak boleh jalan sama orang yang beda keyakinan, no I'm not going to do that, atau post ini mau menjustifikasi interfaith relationship itu tidak apa-apa, no, I'm not going to do that also. 

It's a big decision, fyi. Born and raised in a Christian family, went to Catholic school for 14 years, taught to read the bible everyday, and having the idea sharing my live with someone who even does not know the difference between christmas and easter, really grinds my gears at the first time. 

"Ni, kan udah tau gelap dan terang ngga akan bisa bersatu", iya tahu kok ada di Alkitab. 

"Nabrak tiang mulu lu Ni, serius kenapa"

"Ni, alasan kenapa lebih baik sama yang seiman kan biar saat menghadapi masa sulit, seenganya kalian punya based value dalam pengambilan keputusan yang sama. Ketika bergembira pun bisa berdoa dan bersyukur dengan cara yang sama pula", iya bener kok aku setuju. 

"Ni seenganya biar kalau mau makan bisa doa bareng gitu kalo engga ada yang nemenin ke gereja".

I struggled with this interfaith issue, prayed, cried, discussing this matters with lots of people, asked for forgiveness, and so on. Feeling guilty, sometimes ashamed. When I decide to be with someone, whose people said are not sent by Him, I think I distrust, questioning, and doubting God's plan. Am I?

But in a parallel way, berjalan dengan mereka yang orang bilang sebuah kesalahan ini, saya makin merasa dicintai Tuhan, proven that my Father loves His children. Mau tahu kenapa? 

1. It's like Tuhanku selalu kirim kekuatan dengan cara mengirimkan orang yang tepat di masa sulit (if this sounds so stupid and I'm justifying my self, maap ya, iman saya emang pas-pasan. Tapi kalo kata Alkitab, iman sebutir pun dahsyat!). Tapi beneran lho gak bohong, saya ketemu partner-partner hebat ini memang di periode-periode berat, dan mereka yang through thick and thin jadi moral supporter. Saya bersyukur sekali pernah (dan masih ditemani) berjalan oleh mereka ini.

2. Kalau boleh jujur, saya selalu berdoa biar kalau memang relationship ini bukan yang Tuhan kehendaki, biarkan berakhir dan bukan karena masalah beda agama. Percaya atau tidak, doa saya selalu terjawab. Relasi-relasi ini selalu berakhir karena perkara lain, yang jelas-jelas sangat emphasizing kalau "He, Nia, partnermu yang satu ini bukan rencanaKu buat mu, dah ya nih dah Saya tunjukkin gak cocoknya kalian, bubaran aja". And once again, I'm always grateful that God answers me in this way. 

3. Satu yang paling menohok, saya jadi sadar betapa Bapaku ini tidak pernah menyerah memanggil kembali anak-anakNya. God never gives up on me. And how on earth you can ask that from another people? because in any way, we will -or at least we wants- to give up on each other eventually. Teladan ini kemudian mengajar saya untuk turut tidak mudah menyerah menghadapi orang lain, karena Dia pun begitu kepada saya. 

Bodoh kah saya kalau berpikir melalui interfaith experience ini adalah cara Tuhan untuk mendidik, membuat saya lebih kenal, dan dekat padaNya?

Ini 2017, orang bilang. Agama mu urusan mu, selama kalian tidak menganggap perbedaan sebagai masalah, why bothers? lanjut aja.

Satu yang saya yakin, bahwa standar moralitas kebenaran Tuhan akan selalu sama walaupun tahun, dekade, abad, berganti. Ya kalo seiring tahun terus standarnya geser, berarti bukan standar dong namanya?.
Indonesia menganggap interfaith sebagai sesuatu yang salah, tapi konsep ini sudah ditinggalkan belasan bahkan puluhan tahun yang lalu oleh negara-negara lain. Apakah 50 tahun lagi LGBT yang sekarang masih sangat tabu di negara ini akan jadi hal yang biasa-biasa saja?

Coba cabut deh itu UU yang stating kalau beda agama tidak boleh menikah di Indonesia, tunggu reaksi masyarakat, lalu akan ada berapa ribu pasangan yang keluar ke catatan sipil dan tidak ke KUA atau minta surat lagi ke gereja? 

Banyak kok pasangan yang make it to the top, despite of their differences. Gak jauh-jauh, I saw this interfaith example in my own family, it works, for decades, tetap bisa mempraktekan dan memuliakan Tuhan dengan caranya sendiri-sendiri. It was hard and painful, but they did not give up on each other. 

Sedih kalau harus merasakan posisi agama sebagai pencipta restriksi. Apalagi melihat masyarakat yang karena tidak suka dengan berbagai batasan ini, mulai berpikir bahwa agama itu omong kosong, bikin kacau, bikin sulit, dan akhirnya kehilangan esensi dari beriman itu sendiri. Seringkali ingin mempertanyakan kenapa tidak boleh, tapi sebenarnya tahu itu given dan pasti punya maksud.   

So, my fellow interfaith experiencer, I guess what we can do is just keep listening to our God, keep up the faith, embrace the love, and always be rational. Percaya deh, kalau mau berat sebelah dan tidak dengar-dengaran dengan iman mu dan realita, kamu bisa saja ciptakan ratusan alasan untuk bodo amat dan gas terus maksain. At this point, it will no longer makes you happy and cherishing life..

Maaf kalau tulisan ini sangat abstain, tambah bikin bingung sesama penabrak tiang. Saya embrace ini perjalanan saya menemukan destinasi hidup with all its chaotic madness.

Give our best in every steps, let go when we have to. Be strong, dear people :)

31.10.17

Based on trust : Ending the relationship

Don't you ever forget that,

relationship is based on trust. 

Ini pasti sebuah prinsip dasar yang orang manapun juga tahu. Kamu harus bisa percaya partnermu. Mulai dari partner kerja, kawan bermain, keluarga, teman hidup, siapapun yang menemanimu berjalan di segala musim.

Semua orang yang sedang berjalan dengan teman hidupnya pasti ingin jadi pribadi yang bisa dipercaya, bisa diandalkan, bisa dijadikan sandaran, dan diyakini sebagai sosok tempat pasangannya berpulang. Menyenangkan bukan ditengah dunia yang sungguh dinamis dan penuh halang rintang ini, kamu selalu punya zona nyaman  yang kau yakin ada dan setidaknya walaupun tidak bisa langsung berkontribusi langsung melepaskanmu dari tarikan tanggung jawab, bisa buat kau lupa sesaat. 

Ingat diawal saat dua individu memutuskan untuk berjalan bersama, ada leap of faith yang diambil untuk memberikan kesempatan to make things work between them. Rasa percaya yang dibangun untuk membuka diri dan berbagi keraguan, mencari penguatan, dan yah......... untuk menjadi sesosok individu yang independensinya tak lagi mutlak. 

Leap of faith untuk mengaku ke diri sendiri kalau saya butuh kamu. 

Kemudian datang momen dimana harus bersitegang, salah paham, berbeda pemikiran, mengalah, berekspektasi tinggi namun berkali-kali harus dikecewakan, bertahun-tahun belajar soal satu sama lain, sampai akhirnya sudah tahu apa yang harus diharapkan dari eksistensi kalian. 

Tanpa disadari pun saat ada masalah, kita juga percaya loh bahwa satu sama lain ingin saling mengusahakan dan menyelesaikan perkara ini. Kita percaya bahwa masih ada yang harus diperjuangkan, sehingga bertengkar itu punya nilai untuk dilakukan. Kalau memang sudah tak ada guna, ngapain juga masih repot-repot berselisih paham? Enakan juga tidur. 

Diri ini juga percaya bahwa dia yang berjalan bersamamu itu, kenal dirimu dengan baik, dan setidaknya di satu titik akan mengerti mengapa kamu berpikir seperti itu, vice versa. 

Tapi ada satu yang khalayak sering lupa,

bahwa ketika tiba saatnya untuk mengakhiri cerita pun, that trust, faith in each other you always working so hard on, is still needed. Ada banyak jalan untuk mengakhiri kisah, mulai dari yang paling semena-mena dan singkat, sampai yang main kucing-tikus, lama setengah mampus, dan membuat rasa dengan sendirinya terhapus. 

Saya pikir tidak pantas, setelah berbagai rintangan yang dihadapi bersama, begitu perasaan sudah tidak pada tempatnya, yasudah pergi begitu saja. 

Enggak lah, gak gitu.

Kamu kenal dia, paham kondisi dan kesulitannya, tahu ekspekstasinya. Setidaknya pikirkanlah cara yang paling saksama untuk menyudahi cerita. Kalau memang harus didiskusikan pelan-pelan ya saya rasa itu pantas, daripada ujug-ujug menghilang dan malah bikin masalah tambah rumit. 

Dewasa lah, percaya juga kalau partnermu itu bisa diajak diskusi, pasti mau (walaupun belum tentu bisa) mengerti, selalu mempertimbangkan posisi dan hatimu, dan engga mau juga jadi beban di hari-harimu.

Kalau mungkin kondisinya dia juga sudah 'dingin' dan 'berjarak', mungkin menyudahi dengan singkat adalah cara yang tepat. 
Jika ceritanya dia masih super dependen padamu tapi kau butuh kebebasan dan partner yang lebih kuat untuk jadi salah satu tiang penopang mimpi-mimpimu, mungkin ada baiknya jujur saja. Mungkin (kalau dia memang seserius itu) dia akan termotivasi, mulai eksplor kesibukannya sendiri, dan jadi ideal bagimu di masa mendatang. 

Enggak perlu juga lah memaksakan hubungan karena kasihan. Karena bingung harus bagaimana lalu menunda-nunda. Itu memperparah keadaan, trust me, been there. 

Toh, bagian dari jalan bersama, kamu juga harus percaya kalau tanpa dirimu pun, dia bisa.  

Kadang kita terlalu sering bertanya ke teman-teman lain tentang apa yang sebaiknya dilakukan, padahal tak ada seorangpun yang mengerti 100% posisimu. Hestitation macam apa yang membuat kau bertahan? Sepatutnya, yang seharusnya kau ajak bicara itu dia. Embrace kenyataan kalau kalian memang tidak baik-baik saja, then kembali ke momen bersitegang, kalian percaya kalau satu sama lain mau cari jalan keluar, baik itu tetap bersama atau menyudahi saja. 

Jadi...seperti mendengarkan lagu, melakukan interview, dan menonton film, dimana bagian ending itu sangat ampuh, demikian juga ceritamu. Lakukan yang terbaik, pikirkan dengan sungguh, jika memang harus, jalan apa yang harus ditempuh?